Silat Kampung, Warisan Budaya Terancam Punah: Kisah Wak Long Gani, Guru Silat dari Kayong Utara

Kayong Utara,Kalbar| kibaunews.com-Silat atau Pencak Silat, seni bela diri yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari warisan budaya Asia Tenggara, kini telah telah diakui dunia oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) pada 2019. Seni beladiri ini tidak hanya terkenal dengan gerakan yang elegan, tetapi juga mengandung filosofi pertahanan yang mendalam serta strategi yang efektif.

Namun di balik pengakuan dunia tersebut, terdapat cerita dari para guru silat yang kini semakin menua, menghadapi tantangan besar untuk mempertahankan dan melestarikan seni beladiri tradisional ini. Salah satunya adalah A. Gani, atau yang akrab disapa Wak Long Gani atau Anong Gani. Berusia 80 tahun, Wak Long Gani merupakan guru silat kampung yang telah mengabdikan hidupnya untuk mengajarkan silat kepada ratusan murid yang tersebar di wilayah Kayong Utara,Ketapang dan Pontianak serta Kabupaten Sanggau. Selain dikenal sebagai seorang pengajar silat, beliau juga dikenal sebagai “Orang Pintar” yang sering dimintai bantuan untuk memberikan petuah dan tawar jampi bagi mereka yang menghadapi masalah non-medis.

Silat Kampung, Warisan Budaya Terancam Punah: Kisah Wak Long Gani, Guru Silat dari Kayong Utara
A.Gani/Wak Long Gani, Salah Satu Guru Silat di Kayong Utara

Wak Long Gani, yang kini tinggal di Dusun Sumbermas Baru, Desa Mas Bangun, Kecamatan Teluk Batang, Kayong Utara, menceritakan perjalanan panjangnya dalam dunia silat. Di usia muda, ia mulai belajar silat Minangkabau dan Kungfu. Namun, titik balik dalam hidupnya terjadi pada tahun 1970, ketika beliau bertemu dengan almarhum Pak Usu Hasyim dari Tayan. Dari pertemuan ini, Wak Long Gani mempelajari silat Sendeng, sebuah aliran silat yang kemudian ia kembangkan dan ajarkan kepada murid-muridnya.

Dalam wawancara dengan media, Wak Long Gani menjelaskan bahwa silat Sendeng yang ia ajarkan sangat mengutamakan disiplin dalam gerakan serta kandungan spiritual yang dalam. “Silat ini hanya diajarkan kepada mereka yang sudah akil baligh dan berkhitan, karena itu adalah syarat untuk dapat meletakkan syahadat,” ujar Wak Long Gani, menjelaskan filosofi di balik silat yang diajarkannya.

Namun, usia yang semakin senja membuatnya terpaksa berhenti mengajar silat sejak lima tahun lalu. Beliau mengungkapkan keprihatinannya karena tidak ada generasi muda yang bersedia untuk melanjutkan perjuangannya dalam mengajarkan silat. “Saya berharap ada penerus yang dapat menjaga dan melestarikan warisan budaya ini agar tidak punah,” harapnya dengan tulus.

Meski kini tinggal seorang diri setelah berpulang istrinya beberapa tahun lalu, Wak Long Gani tetap dikelilingi keluarga yang setia menjenguknya secara rutin. Meskipun tubuhnya sudah renta, semangat untuk melestarikan silat tetap menyala dalam dirinya. Ia berharap, generasi muda dapat lebih menghargai dan memahami betapa berharganya warisan budaya ini, yang sudah sepatutnya dijaga dan diteruskan.

Silat tradisional atau silat kampung, yang telah menjadi bagian dari identitas budaya masyarakat, kini menghadapi ancaman serius dalam hal pelestarian dan keberlanjutan. Semoga kisah Wak Long Gani ini dapat menginspirasi banyak pihak untuk lebih peduli dalam menjaga dan melestarikan warisan leluhur kita, terutama seni bela diri yang penuh makna dan nilai kearifan yang tidak ternilai.

Pewarta : YH
Sumber : A.Gani

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *