Gambar:UMSU Fakultas Hukum
Pontianak,Kalbar|kibaunews.com–Kondisi saat ini memperlihatkan banyak persoalan yang sedang dialami insan pers. Terlebih menghadapi pemilu 2024 pers pun dituntut terus independen karena intervensi mengancam keberadaannya. Tidak hanya pemerintah, kepentingan bisnis, intervensi bisa juga datang dari kepentingan kelompok dan kepentingan individu (personal).
Nyarwi Ahmad, Ph.D, dosen dan pengamat komunikasi politik UGM sekaligus Direktur Eksekutif Indonesiaan Presidential Studies (IPS), mengatakan pers kapanpun harus independen. Semangat independensi penting mengingat sebagai pilar keempat demokrasi keberadaan pers sangat dibutuhkan di tengah kehidupan masyarakat.
“Bukan hanya sebagai watchdog yang berperan mengawasi, mengevaluasi dan mengingatkan kinerja, mengawasi dan memberi kritikan terhadap siapapun yang memimpin lembaga legislatif, eksekutif dan lembaga-lembaga yang terkait penegakan hukum. Tetapi media juga perlu mengangkat atau merespons isu yang berkembang di dalam masyarakat baik terkait ekonomi, politik, hukum, pendidikan, kebudayaan dan hal lain,” ujarnya di Departemen Ilmu Komunikasi, Fisipol UGM, Kamis (9/2).
Meski selalu dituntut independen, Nyarwi menilai media sebenarnya wajar memiliki orientasi tertentu atau keberpihakan selama orientasi atau keberpihakan tersebut masih dalam koridor kepentingan publik. Artinya untuk kepentingan masyarakat, kinerja-kinerja media masih mengawal kepentingan publik.
Hal itu bisa dilakukan media entah dalam rangka mengkritisi atau bahkan memberikan masukan pada lingkar kekuasaan eksekutif, legislatif dan lembaga-lembaga penegak hukum.
“Mungkin bisa juga dengan mengingatkan masyarakat terkait beberapa hal yang krusial yang menjadi agenda publik, dimana masyarakat tidak menyadari secara penuh. Keberpihakan itu harus malah, tetapi yang perlu dijaga adalah profesionalitas dalam bekerja,” katanya.
Di hari pers kali ini, Nyarwi berharap insan media tetap berpegang kuat pada prinsip-prinsip jurnalisme. Dalam menjalankan kinerjanya media diharapkan memegang prinsip sebagai pilar keempat demokrasi.
Di tengah perkembangan platform digital dan media sosial, media tetap dituntut profesional dalam membuat cover boothside, melakukan verifikasi, mencerna dan menyaring informasi hingga menghasilkan sebuah sumber berita yang dipercaya (kredibel). Berita-berita yang mencerdaskan, mendidik, dan mencerahkan.
“Di tengah perkembangan yang terus terjadi, profesionalitas dan kapasitas kinerja dari organisasi media menjadi sesuatu yang sangat penting dikembangkan secara serius,” ucapnya.
Nyarwi mengakui media saat ini dihadapkan tantangan-tantangan lain berupa munculnya raksasa digital. Bagaimana media saat ini begitu sangat tergantung dan dituntut adaptif.
“Media memang harus adaptif, termasuk pekerja media juga harus adaptif terhadap perkembangan komunikasi-komunikasi digital hari ini. Adaptasi ini menentukan seberapa media akan survive baik secara ekonomi politik maupun sosial,” paparnya.
Meski begitu, hasil survei IPS di tahun 2022 memperlihatkan tingkat kepercayaan masyarakat secara umum terhadap media mainstream masih lebih tinggi dibanding media sosial. Mayoritas publik dalam survei tersebut sangat/cukup percaya pada media formal, TV, Radio dan Koran dan lebih percaya pada jenis media tersebut dibandingkan dengan media sosial.
Hasil survei menunjukan sebanyak 74,4 persen masyarakat percaya pada media formal, sementara tingkat kepercayaan pada media sosial sebesar 12,7 persen. Meskipun di sini perilaku masyarakat dalam mengakses media mainstream seringkali tidak secara rampung melalui platform-platform digital.
“Bagaimanapun media mainstream hingga saat ini masih menjadi acuan utama. Adaptasi disini diperlukan oleh media mainstream karena keberadaan media mainstream boleh dibilang cukup tergantung platform-platform raksasa digital,” katanya.
Mengacu periode sebelumnya dalam konteks pemilu dan pilpres, Nyarwi melihat independensi media atau agenda setting media tidak lepas dari orientasi politik dari para pemiliknya. Di sinilah, menurutnya, situasi kurang beruntung karena media-media mainstream yang besar yang cukup mayoritas dimiliki oleh orang-orang yang memiliki orientasi politik atau punya lembaga politik seperti partai politik.
Media Grup misalnya, dengan sang pemilik Surya Paloh, MNC ada Hary Tanoesoedibjo. Belum lagi irisan-irisan dari itu, seperti Golkar misalnya ada Aburizal Bakrie, Berita Satu dan lain-lain. Artinya peluang para pemilik mengintervensi terhadap agenda setting media cukup besar.
Peluang tersebut cukup besar terjadi, misalnya di tengah situasi politik yang landscapenya polarisasi seperti beberapa periode yang lalu. Karena tanpa polarisasi politik pun sudah kelihatan, misalnya orientasi keberpihakan atau support baik secara tertutup maupun terbuka, kecenderungan agenda setting media terhadap orientasi politik baik pada pemerintahan yang sedang berkuasa maupun capres-capres yang potensial bertarung.
“Ini berdasar dari pengalaman-pengalaman sebelumnya tampak nyata dan bisa dirasakan oleh mayoritas banyak orang. Tentu disana, menjadi tantangan sulit bagi para jurnalis, sejauh mana para jurnalis, pimpinan media atau orang-orang profesional di media itu menjaga agenda setting media dan cara kerja media bisa mengelola dinamika prioritas agenda setting maupun informasi politik yang ditampilkan, framing dan lainnya itu lebih bisa mencerahkan atau mendidik masyarakat,” jelasnya.
Situasi semacam ini, menurut Nyarwi, justru sebenarnya menjadi tantangan tersendiri bagi para pengelola, jurnalis dan pekerja di media. Dalam kondisi ini seorang jurnalis memang harus selalu diingatkan bagaimana mereka bekerja dengan prinsip-prinsip jurnalis.
Menurut Nyarwi hal lain yang bisa menolong adalah adanya aturan-aturan, misal soal regulasi kampanye. Hal semacam itu bisa menolong dan menjaga media pada relnya sebagai lembaga yang independen, yang berada di luar kekuasaan yang tugasnya menjaga kepentingan publik.
“Ditambah ada UU Pers, UU Penyiaran, di KPI ada panduan penyiaran. Bisa menjadi panduan bagaimana pers dan penyiaran tidak menyimpang. Regulasi yang lain ada di UU Pemilu dan pengawasan Pemilu. Dengan regulasi-regulasi semacam itu diharapkan media tidak lagi bisa dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu sebagai propaganda politik atau mobilisasi politik. Karena kalau terjadi penyimpangan publik yang dirugikan, dan tingkat kepercayaan pada media akan menurun makanya tingkat kepercayaan yang tinggi harus tetap dijaga,” ungkapnya.
Sumber : Universitas Gadjah Mada
Penulis : Agung Nugroho