Dalam dunia jurnalistik, penilaian terhadap kualitas wartawan seringkali terjebak dalam anggapan bahwa lama masa kerja adalah indikator utama dari kemampuan mereka. Pandangan ini,yang dikeluhkan oleh Iswandoko dari suarakayong.id anggota Persatuan Wartawan Kalbar (PWK), masalah yang dipandang dapat menghambat para jurnalis, terutama yang lebih muda, dalam mengemukakan bakat dan keterampilan mereka. Pendekatan ini, meski umum diterima, perlu dievaluasi dan dicermati kembali.
Hajeri, Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Kabupaten Ketapang, berpendapat bahwa penilaian terhadap wartawan seharusnya berfokus pada kualitas karya jurnalistik yang dihasilkan, bukan hanya pada durasi kerja mereka. Masa kerja yang panjang tidak selalu mencerminkan kemampuan atau integritas seorang wartawan. Kualitas laporan, kedalaman investigasi, dan objektivitas penulisan adalah indikator utama profesionalisme wartawan. Di era informasi yang berkembang pesat, wartawan dihadapkan pada tantangan untuk menjaga standar etika dan profesionalisme, agar informasi yang disampaikan tetap akurat dan tidak bias.
Mengukur wartawan dari hasil karya mereka memungkinkan penilaian yang lebih objektif dan merata, serta meminimalisir penilaian subjektif berdasarkan lama masa kerja semata. Ini mendorong wartawan untuk terus mengasah keterampilan mereka dan tetap relevan dengan perkembangan zaman. Dengan cara ini, kualitas berita dapat terus meningkat dan memberikan kontribusi berarti bagi masyarakat.
Foto : Dr.Hidayatullah/sumber,warta.co.id
Sementara itu, Dr. Hidayatullah dalam tulisannya di warta.co.id menyoroti dampak negatif dari budaya senioritas. Budaya ini seringkali menghambat kreativitas dan inovasi, karena individu junior mungkin enggan mengemukakan ide-ide baru akibat takut ditolak atau merasa tidak memiliki otoritas. Selain itu, senior seringkali mendapatkan perlakuan atau kesempatan yang lebih baik meskipun kualifikasi mereka tidak lebih unggul, menciptakan ketidakadilan dan ketidaksetaraan. Dampak lainnya termasuk rendahnya moral dan motivasi di kalangan junior, serta potensi konflik dan kesenjangan generasi yang dapat mengganggu kolaborasi. Keterbatasan peluang belajar dan pengembangan juga sering terjadi, mengurangi kesempatan bagi individu junior untuk berkembang secara profesional.
Dengan demikian, pergeseran dari penilaian berbasis masa kerja ke penilaian berbasis kualitas karya jurnalistik akan lebih mendukung profesionalisme dan kreativitas di bidang jurnalistik. Hal ini akan memastikan bahwa wartawan dihargai berdasarkan kemampuan mereka dalam menghasilkan berita yang berkualitas, dan tidak terbatas pada lama waktu mereka berkarir. Integritas dan kualitas karya jurnalistik adalah hal yang tidak bisa dikompromikan, dan akhirnya, kualitas hasil karya akan selalu berbicara lebih lantang daripada durasi waktu yang dihabiskan di lapangan.
*YH/Pimred kibaunews.com*